Jakarta (ANTARA News) – Berawal dari hobinya bermain “game” dalam jaringan atau “game online”, kini Ashadi Ang berhasil menjadi pengusaha “voucher” atau kupon game online dengan jutaan transaksi melalui bendera PT 24 Jam Online.
“Semuanya berawal dari permasalahan yang saya alami, kesulitan mencari voucher game,” ujar Ashadi, saat ditemui di Jakarta, Kamis.
Saat itu, sebagian besar “voucher game” hanya ada di warung internet (warnet), dan harus bermain game melalui komputer di tempat tersebut.
Akan tetapi, tidak semua peminat “game online” nyaman berada di warnet yang dipenuhi asap rokok serta bising tersebut.
Dimulai dari keluhan itu, Ashadi memulai bisnisnya pada 2009. “UniPin” merupakan kependekan dari Universal Pin, maknanya dengan satu pin bisa digunakan untuk semua jenis game.
“Banyak voucher game yang hanya untuk satu game online saja. Dari situ muncul ide, bagaimana caranya agar satu voucher bisa digunakan pada banyak game online,” jelas Direktur Eksekutif PT 24 Jam Online tersebut.
Sejak awal didirikan, perusahaan tersebut fokus pada usahanya dalam membangun solusi pembayaran bagi dunia usaha. Ashadi mengubah distribusi yang selama ini hanya di warnet melalui berbagai metode pembayaran.
Kemudahan lain juga telah disediakan oleh PT 24 Jam Online untuk para konsumen yang ingin bertransaksi melalui daring, perangkat berjalan maupun bank, sehingga saat ini penyaluran UniPin voucher game online tidak hanya dilakukan melalui cabang fisik tapi juga dapat melalui online banking, ATM transfer, SMS banking ataupun mobile banking, serta melalui lebih dari 100.000 agen PPOB yang tersebar di seluruh Tanah Air.
Layanan yang ditawarkan pun semakin berkembang mulai dari UniPin Wallet, UniPin Express, hingga yang termukhtahir adalah UniPin “Direct Carrier Billing” (DCB).
PT 24 Jam Online juga bermitra dengan Indomaret, jaringan retail yang memiliki lebih dari 11.000 cabang yang tersebar di penjuru Tanah Air, untuk mendistribusikan voucher game UniPin voucher game online.
Pada 2014, PT 24 Jam Onlie berhasil membukukan tiga juta transaksi. Ashadi enggan menyebut berapa total profitnya. Ia menjual voucher dengan nominal Rp10.000, Rp20.000, Rp50.000, Rp100.000, Rp300.000, Rp500.000, hingga Rp5.000.000.
“Berdarah-darah“
Tak mudah, bagi Ashadi memulai perusahaan pemula berbasis teknologi informasi tersebut. Tak terhitung berapa modal yang dikeluarkan dan waktu yang dikorbankan. Transaksi pun hanya dalam hitungan jari dalam sehari. Ia menyebut fase itu sebagai fase “berdarah-darah“.
“Kalau dulu membangun perusahaan IT tidak mudah. Investasi harus besar, karena investasi jauh lebih mudah. Sekarang, kalau bisnis berkembang bisa langsung ganti server ke Indonesia,” terang lulusan ilmu komputer dari Universitas Coventry, Inggris, tersebut.
Saat itu perusahaannya tersebut hanya dikelola empat karyawan, termasuk dirinya yang merangkap menjadi layanan pelanggan. Kalau ada keluhan dalam hitungan menit ditanggapi. Bahkan acap kali, ia melayani langsung pelanggannya. Jadi meski tidak tatap muka, tetap merasa dekat.
“Ada pelanggan yang marah-marah, tapi tetap dekat karena dilayani dengan sepenuh hati,” ujarnya.
Ia mengenang ada pelanggannya anak sekolah yang membeli voucher Rp10.000, kemudian komplain. Akan tetapi, karena dilayani dengan baik, pelanggannya tersebut melakukan promosi dari mulut ke mulut ke teman-temannya.
“Anak sekolah tersebut bilang ke saya, pasti yang beli voucher bertambah. Benar, memang transaksinya bertambah,” kenang dia.
Sampai saat ini pun, aku Ashadi, ia masih memantau. Menurut dia, semua keluhan harus ditanggapi secepat mungkin.
Menurut dia, yang terpenting dalam membangun perusahaan adalah inovasi dan produk yang stabil.
“Pengalaman saya bekerja di beberapa perusahaan IT, banyak produk bagus tapi tidak stabil, serta jual putus. Memang uang yang didapatkan seketika banyak, tapi ya udah cuma itu aja,” saran dia.
Berbagai Perusahaan
Di usianya yang terbilang muda yakni 35 tahun, karir Ashadi terbilang moncer. Ashadi memulai karirnya sebagai konsultan bisnis selama satu tahun, kemudian melanjutkan karirnya sebagai manajer penjualan selama tiga tahun pada perusahaan multinasional yang merupakan produsen perangkat lunak akuntansi dan koperasi.
Pada tahun keempat di perusahaan perangkat lunak itu, dia berhasil menjabat sebagai “general manager” atau manajer generik, setelah sukses membawa perusahaan tersebut meraih laba tinggi.
Pada 2007, Ashadi memutuskan keluar dari pekerjaannya karena ingin bekerja secara independen. Bersama temannya, ia menggawangi beridirinya perusahaan pertamannya yang bergerak di bidang teknologi informasi.
Perusahaan itu bekerja untuk proyek di Kementerian Pendidikan serta Kementerian Koperasi dan UKM serta Dewan Koperasi Nasional.
Dia menyelesaikan pekerjaannya yang dinamakan dengan sistem perpustakaan digital, dan juga sistem manajemen pembelajaran.
Bisnis bidang teknologi informasi, menurutnya sangat potensial bagi perusahaan pemula. Banyak perusahaan pemula yang menjadi raksasa dunia dalam kurun waktu satu dasawarsa seperti Facebook, Twitter, Google, dan sebagainya.
“Anak-anak muda Indonesia kaya akan ide-ide segar, tapi sebagian besar lupa mengubah ide-ide tersebut menjadi uang,” kata dia.
Ashadi menargetkan perusahaan yang dipimpinnya bisa membukukan lima juta transaksi pada tahun ini.