Mudik di kampung sendiri, di Betawi
… Ini kampung ane… Ane pulang kampung tiap hari dong…
Jakarta (ANTARA News) – Mudik atau pulang kampung adalah satu agenda rutin tahunan bagi kebanyakan orang Indonesia. Di seluruh dunia, mudik seperti ini bukan monopoli Indonesia saja, semisal Amerika Serikat yang warganya juga mudik saban Thanksgiving Day. Situasinya mirip-miriplah; bedanya mungkin mereka memakai bahasa Inggris saja!
Begitulah, mudik mengokohkan kembali akar identitas tiap person pemudik, sekalipun ada pepatah bijak Minang “di mana kaki dipijak, di situ langit dijunjung”.
Idul Fitri atau Lebaran dalam khasanah budaya Indonesia, jadi forum mudik bagi belasan juta orang; kebanyakan dari kota besar sebagai urbanis yang mencari rejeki, karir, dan sebagainya.
Semua mudik (paling tidak) setahun sekali. Dikatakan mudik jika mereka berdomisili tetap di kota dan kampungnya di lain lokasi yang biasanya cukup jauh. Bagaimana dengan etnik Betawi? Jelas mereka domisili tetapnya di Jakarta dan kota-kota sekitar, mulai dari Tangerang, Depok, Parung, Bogor, atau Bekasi.
Apakah mereka mudik Lebaran juga? Seorang warga Betawi di Kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, membilang hal itu singkat saja. “Ini kampung ane… Ane pulang kampung tiap hari dong,” kata Aman, sang warga berusia 51 tahun itu.
Menurut laman Wikipedia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan Setu Babakan menjadi Pusat Perkampungan Budaya Betawi pada 2004 karena masih banyak perkampungan Betawi di daerah tersebut. Desa Setu Babakan yang diapit dua danau (situ) memang sering menggelar pentas seni dan tari Betawi pada hari-hari biasa selain bulan puasa.
Pada siang terik itu, Aman ditemani Samiun (55 tahun) sedang duduk santai di atas sebuah bangku kayu tepat di depan pintu gerbang Setu Babakan. Kedua tukang ojek itu sedang bersenda gurau satu sama lain, membicarakan kapan 1 syawal 1432 H hingga kemenangan Manchester United melumat Arsenal 8-2.
Samiun “nyambung” omongan temannya itu, ”Kite khan orang Betawi, ngga useh irilah ama mereka yang mudik. Rasanye same aje kok lebaran di sini ama di Jawa.” Samiun memakai kaos oblong putih bercelana kain biru. Sebagai tukang ojek (istilah resmi: pengojek) mereka jelas hafal betul kawasan kampungnya itu.
Jika merunut usia mereka, masa-masa awal pembangunan Jakarta di bawah pemerintahan Soekarno cukup tersisa dalam kenangan mereka. Bung Karno bisa dikategorikan juga “merevolusi” komunitas awal Kota Djakarta, yaitu etnik Betawi ini. Dia menetapkan pembangunan Gedung MPR/DPR, Gelora Senayan, Tugu Monumen Nasional, Hotel Indonesia, jembatan Semanggi, dan banyak lagi.
Semua proyek skala besar itu jelas memerlukan lahan yang luas-luas. Kabarnya sampai memerlukan keikhlasan warga kampung-kampung untuk dipindahkan. Istilah bahasa Jawa-nya, bedol desa, walau tidak jauh-jauh amat. Misalnya dari kampung di Senayan ke Srengseng itu atau dari kampung di Tanah Abang ke Kampung Melayu atau Cakung dan Pulo Gadung.
Lalu, di mana “kampung” mereka itu? Kalau ditanya begitu, kebanyakan akan menjawab kira-kira seperti ini, “Dulu babenya engkong tinggal di pinggir Senayan. Karena digusur untuk bikin Gelora Senayan, pindah ke mari deh…” Penelusuran lebih jauh sepertinya tidak penting-penting amat buat mereka.
Toch jaman sekarang ini semuanya sudah dihubungkan jalan aspal yang bagus, ada telefon genggam yang bisa dipakai ngobrol-ngobrol atau bisnis, lengkap dengan…. BBM-nya!
Sungkem dan Nyekar
Orang Betawi pun mengenal adanya budaya sungkem-sungkeman atau meminta maaf dari yang muda ke tua dan nyekar atau mengunjungi kuburan keluarga hanya untuk membersihkan dan mengirimkan doa.
Dipikir-pikir, lebaran di kampung Setu Babakan sangatlah ekonomis dan tidak mengeluarkan banyak biaya untuk transportasi karena sebagian besar penduduk yang tinggal disana saling terikat atau termasuk ke dalam keluarga.
”Ada kali 50, keluarga saya disini, pak Samiun aja keluarga saya,” kata Aman yang sudah tinggal di desa itu sejak 1960 ketika ditanya Antara News berapa banyak keluarganya di Setu Babakan.
”Maklum, orang tua kami gede di sini, kite juga gede di sini, anak kite gede juga gede di sini. Gimane ngga mau banyak keluarganye,” kata Samiun yang memiliki lima orang anak, empat orang cucu dan dua orang cicit.
Dzul Fitri yang berusia 25 dan seorang buruh bangunan mengatakan biasa orang Betawi melakukan tahlilan sebelum lebaran untuk mendoakan keluarganya yang sudah meninggal dunia. Acara nyekar biasanya dilakukan sebelum puasa atau sehari sebelum lebaran.
Dzul mengatakan kami juga biasanya mengecat, membersihkan dan memperbaiki rumah sebelum Lebaran tapi itu pun tergantung dengan keuangannya. Suasana malam takbiran di Setu Babakan juga biasa-biasa saja tidak ada konvoi keliling dan kesenian Betawi lainnya hanya berdiam diri di dalam mesjid mengumandangkan takbir.
”Sekarang sepi, cuma takbiran di mesjid. Kalau dulu rame, anak-anak pada maen petasan dan blegur,” kata Dzul putra asli Babakan yang lahir seminggu sebelum Idul Fitri karena itu namanya Dzul Fitri.
Tak jauh berbeda, dengan orang pada umumnya, selepas shalat Ied orang Betawi lebih mengutamakan terlebih dahulu salam-salaman dengan tetangga sekitar.
Ternyata tidak hanya malam takbiran yang sepi di Setu Babakan, tapi juga selama bulan puasa. Aman sedikit menceritakan kenangan masa kecilnya ketika bulan puasa dan idul fitri. Aman menceritakan sedikit kenangan masa kecilnya ketika bermain blegur bersama teman-teman sepermainannya di lapangan.
Pada sore hari, menjelang berbuka puasa, anak-anak kecil sudah berumpul di lapangan untuk bermain blegur, dan siapa suara blegur yang paling menggelegar dia yang disegani. Pada malam takbiran, baru anak-anak menyalakan petasan atau mercon di lapangan atau di danau untuk menyambut Idul Fitri.
Blegur atau mercon bambu atau meriam bambu adalah jenis permainan rakyat yang menggunakan bambu besar lalu diisi minyak tanah atau karbit. ”Walaupun cume bambu, suaranye udeh kaya meriam betulan,” kata Amar sambil tersenyum tipis mengingat masa lalunya.
Sekarang, kata Aman, kebiasaan tradisional itu sudah luntur karena ada peraturan pemerintah daerah yang melarang menyalakan petasan. Karena itu, malam takbiran terasa sungguh sepi dan hanya berdiam diri di mesjid.
”Sekarangkan, ngga boleh maen petasan,” katanya.
Namun, Dzul mengkritisi kebiasaan anak-anak yang sudah melupakan permainan tempo dulu dan memilih permainan modern seperti video game dan game online. Memang benar, di Setu Babakan sejak cukup lama banyak warnet-warnet berdiri yang menawarkan game online.
”Sekarangkan jamannya beda, anak-anak maen Blegurnya di komputer,” kata Dzul sambil mengenakan baju muslim ketika ditemui Antara News selepas salat Dzuhur.
Dodol dan Sagon
Hari raya apapun pasti identik dengan makanan khas, hal itu pun terjadi dengan budaya Betawi ketika menyambut lebaran. Makanan khas Betawi yaitu dodol, kembang goyang dan sagon. Namun, nama makanan yang pertama disebutkan tidak menjadi makanan wajib orang Betawi saat ini karena biaya pembuatannya yang terlampau mahal.
”Buat dodol mahal banget !, kalau kue sagon dari ane kecil ampe sekarang pasti ada,” kata Aman.
Nurhasanah yang disapa mpok Nur, seorang penjual makanan di toko kelontong mengatakan sekarang orang kebanyak lebih membeli dodol dari pada membuatnya karena biayanya yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama.
Jika orang mampu bisa saja menyuruh orang untuk membuatnya. Namun bagi yang kurang mampu, biasanya ibu-ibu patungan uang untuk beli bahan-bahan dodol seperti tepung ketan, gula merah, kelapa dan pembuatannya dilakukan secara bersama-sama sehingga terasa mudah, itu pun proses pembuatannya bisa memakan waktu antara lima dan delapan jam.
”Biasanya, keroyokan buatnya (dodol), nanti hasilnya tinggal dibagi-bagi,” kata Nur yang berusia 40 tahun.
Namun, Dzul mengatakan dodol bukanlah menu wajib di meja makannya tapi dia lebih memilih ketupat dan sayur lontong sayur.
”Ngga usah mahal-mahal, yang penting ada ketupatnya,” katanya.
Sementara itu, sudah menjadi kebiasaan umum bagi orang Betawi saling mengirimkan makanan berupa rantang berisi nasi dan lauk pauk kepada tetangga dan saudara, terlihat dari pengamatan ANTARA News banyak orang yang lalu lalang menaiki sepeda motor membawa-bawa rantang.
Jadi, bisa saja –katakanlah Somat– mengirim penganan ke saudaranya. Saat dia bertandang silaturahmi Lebaran ke rumah saudaranya itu, dia menyantap penganan kirimannya juga! Hal seperti itu bukan satu hal aib bagi mereka, justru semakin mengentalkan jiwa persaudaraan…. Malah jadi bahan canda yang mengundang tawa semuanya. Ya, mereka memang spontan dan tidak suka berpretensi apapun di balik ucapannya.
Budaya Betawi juga mengenal memberikan uang kepada anak-anak atau angpauw menurut kebiasaan warga Tionghoa dan sebagian orang Betawi sudah menganggarkan dana untuk angpauw tersebut.
Tidak heran, tinggalan budaya Tionghoa –terutama dari etnik Hokkian dan Fujien– sangat kental dalam kehidupan keseharian Betawi. Kata “gue”, “elu”, “engkong” (kakek), “encing” (paman), “ceceng” (1.000), “go ceng” (5.000), dan banyak lagi, berasal dari interaksi orang-orang China perantauan di Kawasan Sunda Kelapa sampai Tanah Abang pada masa itu.
Bukan cuma bahasanya, tapi juga makanan, tradisi ritual, arsitektur bangunan rumah, sampai struktur kemasyarakatannya. Ingat dodol dan kue keranjang terbuat dari tepung dan gula merah? Atau main petasan dan gambang-kromong? Saling balas pantun dalam prosesi lamaran? Itu semua bisa dikatakan tinggalan budaya China.
Untuk angpauw itu, Dzul hanya menganggarkan Rp300 ribu dan masing-masing anak hanya mendapatkan Rp5.000-Rp10.000. Kebanyakan orang Betawi hanya memberikan uang kepada anak kecil, mengingat anak remaja sudah bisa mencari uang sendiri.
”Ngga usah besar-besar, 5.000 aja juga udah senang,” kata Dzul merujuk pada anak-anak.
Muhammad Kholid seorang pegawai negeri sipil yang berusia 29 tahun mengatakan dia menganggarkan dana Rp2 juta untuk memberikan uang kepada keponakan-keponakannya. Masing-masing keponakan mendapatkan uang sebesar Rp50.000.
Kholid yang sedang menikmati ketenangan Setu Babakan bersama istri harus mengunjungi saudaranya di empat tempat terpisah di Pulo Gadung, Cikarang, dan Semper, mengingat dia anak terakhir dan bukan warga Betawi di Setu Babakan tapi Cakung, Jakarta Timur.
”Jauh juga sih mas, karena itu saya sekalian carter mobil dan sekaln jalan-jalan ke Taman Buah Mekarsari,” katanya sambil memanfaatan waktu liburan yang sempit dan kurang hormat jika anak yang lebih muda tidak mengunjugi keluarga yang lebih tua.
Aldo dan Firdaus, anak setempat, teman sekelas dan keduanya yang duduk di bangku SD kelas V antusias menyambut lebaran bukan karena malam takbiran, banyak makanan atau selesai bulan puasa.
Namun Aldo melihat lebaran adalah suatu kesempatan setahun sekali dimana dia beserta keluarga jalan-jalan ke tempat wisata.
”Lebaran nanti, aku mau diajak papa ke Ragunan,” katanya girang dengan mengenakan kaos biru sambil membawa alat pancingan.
Tak kalah girangnya, Firdaus memandang lebaran sebagai kesempatan untuk menabung karena mendapatkan masukan uang dari keluarga besarnya.
”Kapan lagi dapat uang gratis, selain lebaran,” katanya yang banyak memiliki keponakan.
Aman memaknai lebaran tidak perlu hal-hal yang baru seperti baju baru, celana baru dan semuanya serba baru, terpenting niat dan perilaku kita harus jelas dan nilai-nilai yang didapatkan selama puasa tidaklah hilang.
Hal senada dikatakan Dzul, dia melihat lebaran adalah saat kemenangan bagi kita dimana umat muslim berhasil melewati ujian selama sebulan penuh untuk menahan rasa lapar, haus dan nafsu.
Sedangkan Kholid melihat lebaran sebagai kesempatan untuk melangkah yang lebih baik dari yang lalu.
”Lebaran adalah menekankan diri bagaimana kita bersikap,” katanya. (*)